Hal ini juga pernah terjadi ketika XL Axiata mengakuisisi Axis pada 2014 lalu. Tifatul Sembiring yang kala itu menjabat sebagai Menkominfo memberikan izin pada XL Axiata untuk mencaplok Axis.
Namun, izin tersebut diberikan dengan syarat XL Axiata harus rela mengembalikan spektrum 10 Mhz di frekuensi 2.100 milik Axis kepada pemerintah sehingga XL Axiata hanya mendapatkan spektrum milik Axis di frekuensi 1.800 Mhz.
Kewenangan pemerintah untuk mengizinkan atau tidaknya operator seluler melakukan akuisisi memang tertuang dalam PP Nomor 53 Tahun 2000tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Pada pasal 25 ayat 1 tertulis bahwa "Pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain".
Kemudian pada ayat 2 disebutkan, "Izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri".
"Evaluasi tersebut salah satunya adalah untuk melihat komitmen pembangunan yang akan dilakukan dan berapa besar frekuensi yang dibutuhkan untuk mencapai komitmen pembangunan," lanjutnya.
Johnny mengatakan bahwa evaluasi juga untuk memperhitungkan seberapa besar frekuensi yang dibutuhkan perusahaan. Ia mengatakan, evaluasi akan dilakukan secara case by case, sesuai kebutuhan operator yang melakukan merger.
"Jika ditanya apakah sebagian frekuensi harus dikembalikan ke negara, maka jawabannya adalah apakah komitmen pembangunan yang akan dilakukan pihak tersebut membutuhkan seluruh frekuensi dari dua perusahaan yang bergabung," pungkas Johnny.